Sabtu, 12 Mei 2012

anti monopoli dan persaingan usaha tidak sehat


NAMA : Apriyani.Puspasari
Kelas : 2EB09
NPM : 20210972

ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN USAHA TIDAK SEHAT
          
1. PENGERTIAN MONOPOLI
Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”.
Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” dan istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.
Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
Menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Undang-Undang Anti Monopoli No 5 Tahun 1999 memberi arti kepada monopolis sebagai suatu penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha (pasal 1 ayat (1) Undang-undagn Anti Monopoli ).
Sementara yang dimaksud dengan “praktek monopoli” adalah suatu pemusatan kekuatan ekonomi oleh salah satu atau lebih pelaku yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan suatu persaingan usaha secara tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum. Sesuai dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Anti Monopoli.
Karena hanya terdapat perusahaan tunggal yang menjual komoditi dan tidak terdapat subtitusi sempurna untuk komoditi itu maka untuk masuk kedalam industri itu sangat sulit atau tidak mungkin. Kita bisa mendapatkan pasar monopoli sempurna jika kita mengasumsikan bahwa suatu perusahaan monopoli yang  mempunyai pengetahuan yang sempurna mengenai harga dan biaya sekarang bahkan biaya dan harga dikemudian hari. Namun, perusahaan monopoli murni tidak mempunyai kekuasaan pasar yang tidak terbatas, karena adanya tuntutan pemerintah dan ancaman persaingan yang potensial, hal inilah yang menjadi penghambat kekuasaan pasar monopoli itu.
Kita dapat mengetahui bagimana kondisi yang memungkinkan timbulnya monopoli. Berikut penjelasannya :
1.    Perusahaan bisa menguasai seluruh penawaran bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi komoditii itu. Sebagai contoh, hingga perang dunia II, Alcoa memiliki atau menguasai hampir setiap sumber bauksit(bahan baku yang penting untuk memproduksi alumunium) di AS dan dengan mempunyai monopoli penuh atau produksi aluminium di Amerika Serikat.
2.    Perusahaan bisa memiliki paten yang menghalangi perusahaan lain untuk memproduksi komoditi yang sama. Sebagai contoh, ketika kertas kaca [ertama kali diperkenalkan, DuPont mempunyai kekuasaan monopoli untuk  produksinya berdasarkan hak paten.
3.    Monopoli bisa ditetapkan melalui pemrintah. Dalam hal ini, perusahaan tesebut ditetapkan sebagai produsen dan penyalur tunggal barang atau jasa tetapi tunduk pada pengendalian pemerintah dalam aspek-aspek tertentu dari operasinya.
4.    Pada beberapa industri, hasil yang meningkat atas sekala produksi bisa dijalankan pada berbagai rentang output yang cukup besar agar hanya membiarkan satu perusahaan untuk memproduksi output ekuibrium industri. Industri ini disebut “monopoli alamiah” dan biasa terdapat dalam bidang kepentingan umum dan transportasi, dalam kasus ini yang biasa dilakukan pemerintah adalah mengizinkan 1 pelaku monopoli itu beroperasi tetapi harus tunduk pada pengendalian pemerintah. Misalnya saja, tarif listrik di kota New York ditetapkan agar Con Edison mendapat “tingkat penghasilan yang normal”(misalnya 10% sampai 15%) dari investasinya.
Peraturan Monopoli dengan pengendalian harga, pajak lump-sum. Peraturan monopoli dengan pengendalian harga yaitu dengan menetapkan harga maksimum pada tingkat dimana kurva SMC memotong kurva D,pemerintah dapat mendorong perusahaan monopoli itu untuk meningkatkan output sampai tingkat yang harus diproduksi industri jika diatur menurut batas persaingan sempurna. Peraturan ini juga mengurangi keuntungan perlu monopoli itu.
Peraturan lump-sum yaitu dengan membebankan pajak lump-sum (seperti pajak izin usaha ataupun pajak keuntungan), pemerintah dapat mengurangi atu bahkan menghilangkan keuntungan perusahaan monopoli tanpa mengurangi harga komoditi atau output.
Peraturan monopoli dengan pajak per-unit yaitu pemrintah mengurangi keuntungan monopoli dengan membebankan pajak per-unit. Akan tetapi dalam kasus ini perusahaan monopoli dapat mengalihkan sebagian beban pajak per-unit kepada para konsumen, dalam bentuk harga yang lebih tinggi dan output yang lebih kecil.
 Mengingatkan kembali bahwa di Indonesia undang undang yang mengatur adalah UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikankepentingan umum.
Diatas sudah dijelaskan bagimana monopoli itu. Sekarang kita bahas sekilas mengenai persaingan monopolistis, yaitu merupakan organisasi pasar dimana terdapat banyak perusahaan yang menjual komoditi yang hampir serupa tetapi tidak sama. Sebagai contoh, banyaknya merek rokok yang tersedia (misalnya Malboro,Super,Filter,234,dsb). Contoh lain, banyaknya sabun deterjen yang berbeda-beda dipasar (misalnya Rinso,Attack,Daya,dsb). Karena adanya diferensial produk ini, penjual dapat mengendalikan harganya dan dengan demikian menghadpai kurva kemiringan yang negatif. Akan tetapi adanya barang subtitusi srupa banya sangat membatasi kekuatan monopoli para penjual dan mengakibatkan kurva permintaan sangat elastis.
Persaingan monopolistis umum terdapat disektor perdagangan eceran dan jasa dalam perekonomiian kita. Beberapa contoh persaingan monopolistis adalah tempat pemangkas rambut, pompa bensin, toko bahan pangan, toko minuman keras, toko obat dan sebagainya yang terletak sangat berdekatan satu sama lain.
Unsur persaingan berasal dari kenyetaan bahwa pasar yang bersaing secara monopolistis(sebagaimana halnya dalam industri bersaing sempurna), terdapat begitu banyak perusahaan yang aktivitasnya masing-masing tidak mempunyai pengaruh yang jelas terhadap perusahaan lain dalam pasar itu. Selanjutnya perusahaan dapat memasuki atau meninggalkan pasar tanpa banya kesulitan dlam jangka panjang. Unsut monopolistik tercipta karena begitu banya perusahaan yang berada dipasar menjual produk yang sangat diferensiasi(bukannya homogen).
Dalam artikel ini kita tahu bagaimana persaingan yang tiidak sehat itu. Serta yang dimaksud monopoli persaingan monopolisti, serta dlam undang-undang juga dijelaskan bagimana anti monopolistik itu dan bagaimana persaingan tidak sehat itu. Dalam kasus monopoli ada hal yang menguntungkan namun juga merugikan. Menguntungkan bagi si perusahaan monopoli tersebut namun ruginya dpat kita lihat di konsumennya. Jelas sekali merugikan kepntingan umum. Hal ini diharapkan perusahaan monopoli bisa menetapkan harga yang wajar. Dalam artian tidak merugikan atau terlalu membebankan harga tinggi kepada konsumen. Diharapkan pula perusahaan monopoli dengan bijak menguasai pasanya. Sehingga meskipun berkuasa dalam suatu komoditi tertentu perusahaan tetap memikirkan bagaimana kemampuan daya beli konsumennya. Dalam islam juga jelas dikatakan katakanlah harga yang sebenarnya dan biarkan konsumen membayar berapapun namun tidak merugikan penjual. Dengan adanya penguasa yang baik bisa saja kondisi sekitar tetap baik.

2. ASAS DAN TUJUAN
a. ASAS
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

b. TUJUAN
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen

3. KEGIATAN YANG DI LARANG DALAM ANTI MONOPOLI
Kegiatan dan Perjanjian yang Dilarang dalam Anti Monopoli
a. Kegiatan yang Dilarang
Bagian Pertama Monopoli
Pasal 17
(1) Pelaku usaha dilarang melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap melakukan penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila:
a. barang dan atau jasa yang bersangkutan belum ada substitusinya; atau
b. mengakibatkan pelaku usaha lain tidak dapat masuk ke dalam persaingan usaha barang dan atau jasa yang sama; atau
c. satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KeduaMonopsoni
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dilarang menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan atau jasa dalam pasar bersangkutan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
(2) Pelaku usaha patut diduga atau dianggap menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) apabila satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha menguasai lebih dari 50% (lima puluh persen) pangsa pasar satu jenis barang atau jasa tertentu.
Bagian KetigaPenguasaan Pasar
Pasal 19
Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. atau mematikan usaha pesaingnya di pasar bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 21
Pelaku usaha dilarang melakukan kecurangan dalam menetapkan biaya produksi dan biaya lainnya yang menjadi bagian dari komponen harga barang dan atau jasa yang dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Bagian KeempatPersekongkolan
Pasal 22
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau menentukan pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 23
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mendapatkan informasi kegiatan usaha pesaingnya yang diklasifikasikan sebagai rahasia perusahaan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat.
Pasal 24
Pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk menghambat produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa pelaku usaha pesaingnya dengan maksud agar barang dan atau jasa yang ditawarkan atau dipasok di pasar bersangkutan menjadi berkurang baik dari jumlah, kualitas, maupun ketepatan waktu yang dipersyaratkan.


b. Perjanjian yang dilarang oleh BAB III Undang-undang Anti Monopoli adalah sebagai berikut :

1. Perjanjian –perjanjian tertentu yang berdampak tidak baik untuk persaingan pasar yang terdiri dari :

a) Oligopoli;

b) Penetapan harga;

c) Pembagian Wilayah;

d) Pemboikotan;

e) Kartel;

f) Trust;

g) Integrasi vertical;

h) Perjanjian tertutup;

i) Perjanjian dengan pihak luar negeri.

                                                        
4.PERJANJIAN YANG DI LARANG
1. Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari mereka dapat mempengaruhi harga pasar.

2. Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a.    Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
b.    Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
c.    Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
d.    Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah daripada harga yang telah dijanjikan.

3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.

4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.

5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.

6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa.

7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.

8. Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.

9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.

10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

Sumber :
·         Kartika Sari, Elsi., Simangunsong, Advendi. 2007. Hukum Dalam Ekonomi. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
·         wikipedia.com
·         0wi3.wordpress.com/2010/06/25/antimonopoli-dan-persaingan-usaha
·         salvatore, ph.D Dominick.2006.Mikroekonomi Edisi ke empat. Jakarta:Erlangga.

perlindungan konsumen


Nama : Apriyani.Puspasari
Kelas : 2EB09
NPM : 20210972
PERLINDUNGAN KONSUMEN
1. Pengertian Konsumen
Konsumen adalah setiap, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distribution.

2. Asas Dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen
       Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:
·         Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
·         Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
·         Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
·         Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
·         Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
·         Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen
Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:
·         Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
·         Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
·         Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
·         Asas keamanan dan keselamatan konsumen
Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
·         Asas kepastian hukum
Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum

3. Hak Dan Kewajiban Konsumen
Berikut hak-hak yang dimiliki para konsumen:
1.   Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
2.  Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan
3.  Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jaminan barang dan/atau jasa
4.  Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan
5.  Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut
6.  Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen
7.  Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
8.  Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya
9.  Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Kewajiban sebagai konsumen
Kewajiban konsumen adalah :
a.
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut

4. Perbuatan Yang Di Larang Bagi Pelaku Usaha
v  Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
1. Tidak sesuai dengan :
    1.1 standar yang dipersyaratkan;
    1.2 peraturan yang berlaku;
    1.3 ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya.
2. Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan lain mengenai barang dan/atau jasa yang menyangkut :
    2.1 berat bersih;
    2.2 isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
    2.3 kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;
    2.4 mutu, tingkatan, komposisi;
    2.5 proses pengolahan;
    2.6 gaya, mode atau penggunaan tertentu;
    2.7 janji yang diberikan;
3. Tidak mencantumkan :
    3.1 tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling baik atas barang tertentu;
   3.2 informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku
  3.3 Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label
v  3.4 Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:
        ü Nama barang;
        ü Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;
        ü Tanggal pembuatan;
        ü Aturan pakai;
        ü Akibat sampingan;
        ü Nama dan alamat pelaku usaha;
        ü Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus dipasang atau dibuat
3.5 Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

v  Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang dan/atau jasa:
1. Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
a. Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga   khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
b. Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
2. Secara tidak benar dan seolah-olah barang dan/atau jasa tersebu:
a.Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
b. Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi.
c. Telah tersedia bagi konsumen.
3. Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
4. Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya, tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
5. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
6. Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika bermaksud tidak dilaksanakan.
  7. Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak       memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
8. Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan kesehatan.
 
v  Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dilarang mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan tidak benar atau menyesatkan mengenai :

a.Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan.
b.Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau jasa.
c.Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.

v  Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :

a.Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
b.Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
c.Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.

v Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada konsumen baik secara fisik maupun psikis.

v  Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan :
a.Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi standar mutu tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
b.Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk menjual barang lain.
c.Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain
 d.Menaikkan harga sebelum melakukan obral.

5. Tanggung Jawab Pelaku Usaha

          Tanggung Jawab Pelaku Usaha (Ps 24-28)

UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
BAB VI
TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA
Pasal 24
(1) Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila
a. pelaku usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas barang dan/atau jasa tersebut
b.pelaku usaha lain, didalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan contoh, mutu, dan komposisi
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibebaskan dari tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut
Pasal 25
(1) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi sesuai dengan yang diperjanjikan
(2) Pelaku usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut
a. tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas perbaikan
b. tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang diperjanjikan.
Pasal 26
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
Pasal 27
Pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dan tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila
a. barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan
b. cacat barang timbul pada kemudian hari
c. cacat timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang;
d. kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen
e. lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewat jangka waktu yang diperjanjikan
Pasal 28
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.
6. Sanski Bagi Konsumen
Masyarakat boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.

Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut :
1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. (pasal 18 ayat 1 huruf b).
2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.

Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.

Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.

Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tdak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian. ( Oktober 2004 )


Sanksi Perdata :
• Ganti rugi dalam bentuk :
  o Pengembalian uang atau
  o Penggantian barang atau
  o Perawatan kesehatan, dan/atau
   o Pemberian santunan
• Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25

Sanksi Pidana :
• Kurungan :
o Penjara, 5 tahun, atau denda Rp. 2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal   8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1) huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
o Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1) huruf d dan f
• Ketentuan pidana lain (di luar Undang-undang No. 8 Tahun. 1999 tentang Perlindungan Konsumen) jika konsumen luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
• Hukuman tambahan , antara lain :
    o Pengumuman keputusan Hakim
    o Pencabuttan izin usaha;
    o Dilarang memperdagangkan barang dan jasa ;
    o Wajib menarik dari peredaran barang dan jasa;
    o Hasil Pengawasan disebarluaskan kepada masyarakat .


SUMBER :